Rabu, 02 Januari 2013

kajian kebudayaan manusia zaman modern

     Nama  : Mochamad Fajrin Dzikriawan
Kelas   : 1ID01
     Npm    : 34412315

Kajian Kebudayaan Manusia Zaman Modern


ZAMAN MODERN
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.
Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M. Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.
Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.
Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama. Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara. Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi.
Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar