Nama :
Mochamad Fajrin Dzikriawan
Kelas :
1ID01
Npm : 34412315
Kajian
Kebudayaan Manusia Zaman Modern
ZAMAN MODERN
Masa
filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M,
yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem
utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan
filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya
perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun
sosial. Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia
berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini
bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala
sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu,
sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa
Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth),
yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene
Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor
aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri
dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya “cogito ergo sum”
(saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam
perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan
pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat
kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan
rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.
Kemudian
muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan
John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan
pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah.
Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang
sempurna. Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme,
muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan
akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau
masa pencerahan sekitar abad XVIII M. Pada abad ini dirumuskan adanya
keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga
Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran).
Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang
pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun demikian,
di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu
David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan
dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang
bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques
Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang
materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan
menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali
ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.
Tokoh
lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme
Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia
merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan
pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia
berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan
rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.
Tokoh
idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu
seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut
(absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik
sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama. Sementara di Inggris,
Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya
aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat.
Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain
aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900).
Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan
tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan
kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa
senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja
menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu,
masyarakat, dan negara. Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme.
Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh
Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang
secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya
sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran
metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit
dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste
Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti
agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai
tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan
selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan
fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh
aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan
manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa
tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan
harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan
antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang
menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895)
membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl
Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang
transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi.
Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.
Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.
Seiring
dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan.
Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam
dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat
kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal
ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang
ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang
sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap
kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah
kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak
ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan
tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan
memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan
itu sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan
tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial
masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat
untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi
dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme
intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci
kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai
homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self
fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi
kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah
yang disebut etos bangsa itu muncul.
Pada
kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri,
sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan
keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya,
dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres
dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan
dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau
keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk
modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan
dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan
industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah
makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua
masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada
pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu
menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para
penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu
jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia,
dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new
sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya
modern.
Kebiasaan
dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan
nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan
pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan
tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi,
karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau
penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan
masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain
sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan
Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin
luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Kebudayaan
Modern Tiruan
Dari
kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut
sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam
lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah
saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan
supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di
lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi,
ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran
hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak
dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial,
semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan
Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil
teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak
menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita
malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera
kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin
dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya
kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak
Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli,
bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan
demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita
kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin
tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ
lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang
trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan
Barat
Kita
keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern.
Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya,
bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat,
seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum
mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika
Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di
mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca
Cola.
Orang
yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan
demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti
bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera
estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya,
apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar